Category: wisata

Keindahan Alam Nusantara yang Katanya Hanya Latar Foto, Padahal Diam-Diam Menopang Tradisi dan Kehidupan

Keindahan Alam Nusantara yang Katanya Hanya Latar Foto, Padahal Diam-Diam Menopang Tradisi dan KehidupanKeindahan Alam Nusantara yang Katanya Hanya Latar Foto, Padahal Diam-Diam Menopang Tradisi dan Kehidupan

Indonesia memang terkenal kaya. Kaya alam, kaya budaya, kaya tradisi. Tapi lucunya, kekayaan ini sering diperlakukan seperti wallpaper ponsel: dipuji sebentar, lalu diabaikan. Kita kagum pada gunung, laut, hutan, dan sungai, tapi lupa bahwa semua itu bukan sekadar objek estetik untuk feed media sosial. Keindahan alam Nusantara sejatinya adalah fondasi hidup masyarakat tradisional. Iya, hidup beneran, bukan hidup ala caption motivasi.

Coba tengok bagaimana alam bekerja menopang tradisi. Di daerah pesisir, laut bukan cuma hamparan biru yang “Instagramable”. Laut adalah dapur, sekolah, sekaligus kantor. Nelayan membaca arah angin dan arus laut seperti kita membaca notifikasi ponsel. Bedanya, kalau mereka salah baca, risikonya bukan cuma baterai habis, tapi nyawa. Tradisi melaut, upacara adat sebelum berlayar, hingga larangan-larangan tertentu bukan mitos murahan, melainkan hasil akumulasi pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Tapi tentu saja, lebih mudah menyebutnya klenik daripada belajar memahaminya.

Masuk ke pedalaman, hutan sering dianggap sebagai lahan kosong yang “sayang kalau tidak dimanfaatkan”. Padahal bagi masyarakat adat, hutan adalah supermarket alami, apotek, dan rumah ibadah. Pohon bukan cuma kayu, tapi simbol kehidupan. Ritual adat, pembagian wilayah, hingga sistem pertanian tradisional lahir dari relasi panjang manusia dengan alam. Tapi ya, siapa peduli, selama grafik ekonomi naik dan brosur investasi terlihat meyakinkan.

Di sinilah ironinya. Keindahan alam Nusantara yang menopang tradisi justru sering dianggap penghambat kemajuan. Tradisi dianggap kuno, alam dianggap sumber daya yang harus segera dieksploitasi. Lalu kita heran ketika bencana datang, budaya hilang, dan masyarakat lokal tersingkir. Aneh, kan? Kita menghancurkan penyangga kehidupan, lalu mengeluh karena hidup jadi tidak seimbang.

Wilayah seperti Kuatanjungselor menjadi contoh bagaimana alam dan tradisi saling bertaut. Sungai, hutan, dan bentang alam di sekitarnya bukan sekadar pemandangan, tapi ruang hidup masyarakat. Di sana, tradisi lahir dari interaksi langsung dengan alam. Bukan dari seminar ber-AC atau presentasi PowerPoint. Keindahan alam kuatanjungselor.com menopang cara hidup yang selaras, meski sering dianggap “tidak modern” oleh mereka yang hidupnya jauh dari lumpur sawah dan arus sungai.

Menariknya, ketika tradisi masih bertahan, justru alam relatif terjaga. Tapi ketika tradisi mulai ditinggalkan, alam pun ikut rusak. Hubungan sebab-akibat ini sebenarnya sederhana, tapi entah kenapa sering diabaikan. Mungkin karena menjaga alam dan tradisi tidak secepat menghasilkan keuntungan instan. Padahal, tanpa alam yang lestari, tradisi mati, dan tanpa tradisi, manusia kehilangan identitas. Tapi ya, identitas memang tidak bisa dijual per meter persegi.

Melalui kuatanjungselor.com, kita bisa melihat bagaimana narasi lokal mencoba bertahan di tengah arus informasi yang serba cepat dan dangkal. Situs seperti kuatanjungselor.com bukan sekadar media, tapi pengingat bahwa ada wilayah, ada manusia, dan ada tradisi yang hidup dari alam. Bukan hidup dari slogan, tapi dari kerja keras dan kearifan yang sering diremehkan.

Jadi, lain kali saat memuji keindahan alam Nusantara, mungkin kita bisa berhenti sejenak dari kekaguman kosong. Sadari bahwa di balik hutan hijau dan laut biru, ada tradisi yang menopang kehidupan. Tradisi yang tidak butuh validasi viral, tapi butuh ruang untuk terus hidup. Kalau tidak, kita akan terus kagum pada alam yang rusak, sambil bertanya, dengan polosnya, ke mana perginya semua tradisi itu.